Senin, 17 Maret 2008

SAMAR BAYANGAN

Langkah semakin hilang jejak
Dihembus angin duka
Kini tinggal samar bayangan

Tak bisa lagi berdiri
Tuk menantang cinta ini
Mengapa harus kusendiri pertahankan
Cinta yang berdarah ini
O…

Hati masih merindu sedih
Walau hujan berapi
Membakar di bumi hatiku

Andainya putus katamu
Ingin pergi dariku jua
(Pergi tinggalkan daku)
(Janganlah kau menyesali lagi)
Kau menyesali (lagi)

Segalanya akan aku tempuhi
Biarpun sejuta duri
Menikam pisah hatiku
Menusuk pilu kalbuku
Akan aku teguh berdiri lagi

Biarkanlah diriku sendiri
Hadapi kelukaan ini
Kan kusambut air mata ini
Walaupun pedihnya tiada terperi

Selasa, 11 Maret 2008

GALAU

Saat langit masih gelap. Bintang-bintang masih memainkan cahayanya yang berkerlap-kerlip. Sang Fajar belum juga menampakkan jati dirinya. Sementara Pelung, sang ayam jago yang biasa membangunkan para santri untuk sholat subuh, juga masih menyembunyikan kepala di balik bulu-bulu sayapnya yang berwarna merah dan hitam, karena memang jam di dinding masih menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh menit dini hari. Namun di sisi sebuah bilik, telah duduk bersimpuh di atas sajadah merah dengan peci haji berwarna putih, seorang yang dihormati dan menjadi panutan penduduk desa, karena ia rajin beribadah dan memiliki ilmu agama yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Penduduk desa pun memanggilnya dengan sebutan gelar Pak Kyai.
Pak Kyai yang lembut dan tidak banyak bicara. Ia hanya berbicara untuk hal-hal yang penting saja. Namun ia tetap dihormati dan dijadikan suri tauladan bagi masyarakat sekitar.
Kedua tangannya yang mulai dihiasi oleh guratan usia merapat dan ditengadahkan ke atas. Kepala ditundukkan. Ucapan doa mengalir bersama air mata yang menetes satu per satu dari pelupuk matanya. Doa yang dipanjatkan usai berdialog dengan Sang Kholik di sepertiga malam, dalam heningnya para makhluk Allah yang masih dibuai mimpi.
Kekhusyuan Sholat Tahajud yang biasa dilakukan tiap malam begitu merasuki jiwanya, membuat sholat malam begitu nikmat. Setiap gerakan dihayatinya, dari mulai takbir hingga salam. Membuat ia merasa begitu kecil di hadapan Rabbil Izzati yang menguasai segalanya.
“Robbi, hamba sadar bahwa hamba bukanlah apa-apa di hadapan-Mu. Hamba adalah makhluk yang lemah, yang tiada daya dan upaya kecuali atas kehendak-Mu. Begitu banyak dosa yang diperbuat, dan jika saat ini Kau panggil untuk menghadap, tak sanggup rasanya hamba mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia ini. Hamba lemah ya Rabb… hamba lemah…”

GALAU

Saat langit masih gelap. Bintang-bintang masih memainkan cahayanya yang berkerlap-kerlip. Sang Fajar belum juga menampakkan jati dirinya. Sementara Pelung, sang ayam jago yang biasa membangunkan para santri untuk sholat subuh, juga masih menyembunyikan kepala di balik bulu-bulu sayapnya yang berwarna merah dan hitam, karena memang jam di dinding masih menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh menit dini hari. Namun di sisi sebuah bilik, telah duduk bersimpuh di atas sajadah merah dengan peci haji berwarna putih, seorang yang dihormati dan menjadi panutan penduduk desa, karena ia rajin beribadah dan memiliki ilmu agama yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Penduduk desa pun memanggilnya dengan sebutan gelar Pak Kyai.
Pak Kyai yang lembut dan tidak banyak bicara. Ia hanya berbicara untuk hal-hal yang penting saja. Namun ia tetap dihormati dan dijadikan suri tauladan bagi masyarakat sekitar.
Kedua tangannya yang mulai dihiasi oleh guratan usia merapat dan ditengadahkan ke atas. Kepala ditundukkan. Ucapan doa mengalir bersama air mata yang menetes satu per satu dari pelupuk matanya. Doa yang dipanjatkan usai berdialog dengan Sang Kholik di sepertiga malam, dalam heningnya para makhluk Allah yang masih dibuai mimpi.
Kekhusyuan Sholat Tahajud yang biasa dilakukan tiap malam begitu merasuki jiwanya, membuat sholat malam begitu nikmat. Setiap gerakan dihayatinya, dari mulai takbir hingga salam. Membuat ia merasa begitu kecil di hadapan Rabbil Izzati yang menguasai segalanya.
“Robbi, hamba sadar bahwa hamba bukanlah apa-apa di hadapan-Mu. Hamba adalah makhluk yang lemah, yang tiada daya dan upaya kecuali atas kehendak-Mu. Begitu banyak dosa yang diperbuat, dan jika saat ini Kau panggil untuk menghadap, tak sanggup rasanya hamba mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia ini. Hamba lemah ya Rabb… hamba lemah…”

Senin, 10 Maret 2008

Syair untuk Gadis Cilik

Andai kau tak terlahir sebelas tahun yang lalu
Tentu kita masih bisa berbagi cinta…
kasih…
dan sayang …

Kau telah hadir di alam khayalku
Mengisi kekosongan jiwa
Kehausan akan cinta

Mia …
Rasanya aku tak sanggup untuk melupakan
Paras wajahmu nan ayu
Senyummu yang manis
yang senantiasa bergelayut di dalam benakku
Saat aku sendiri kau hadir
bersama bayang istriku
yang kini berada di dunia yang berbeda

Mia …
Aku takut menyatakan rasa sayangku padamu
Aku takut untuk memilikimu
Bahkan aku takut jatuh cinta padamu
Karena mungkin akan terasa janggal di hatimu
Dan dunia pasti akan berkata
“Tua bangka tidak tahu diri”

Ya Allah…
Hamba memang hanyalah makhluk biasa
Yang hina dan dzolim
Tiada kelebihan hamba dari makhluk-Mu yang lain
Apalagi mukjizat seperti yang Kau berikan pada Rasul pilihan-Mu

Namun ...
Andai Kau izinkan aku seperti Kekasih-Mu yang agung
Kau nikahkan Ia dengan Siti Aisyah yang baru berusia sembilan tahun
Sungguh itulah anugerah yang tidak terkira bagi hamba
Atas pertobatan yang tidak ingin hamba ulangi
Perkenankan persuntingan itu pada hamba dan Mia
Ya Rabb