Selasa, 11 Maret 2008

GALAU

Saat langit masih gelap. Bintang-bintang masih memainkan cahayanya yang berkerlap-kerlip. Sang Fajar belum juga menampakkan jati dirinya. Sementara Pelung, sang ayam jago yang biasa membangunkan para santri untuk sholat subuh, juga masih menyembunyikan kepala di balik bulu-bulu sayapnya yang berwarna merah dan hitam, karena memang jam di dinding masih menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh menit dini hari. Namun di sisi sebuah bilik, telah duduk bersimpuh di atas sajadah merah dengan peci haji berwarna putih, seorang yang dihormati dan menjadi panutan penduduk desa, karena ia rajin beribadah dan memiliki ilmu agama yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Penduduk desa pun memanggilnya dengan sebutan gelar Pak Kyai.
Pak Kyai yang lembut dan tidak banyak bicara. Ia hanya berbicara untuk hal-hal yang penting saja. Namun ia tetap dihormati dan dijadikan suri tauladan bagi masyarakat sekitar.
Kedua tangannya yang mulai dihiasi oleh guratan usia merapat dan ditengadahkan ke atas. Kepala ditundukkan. Ucapan doa mengalir bersama air mata yang menetes satu per satu dari pelupuk matanya. Doa yang dipanjatkan usai berdialog dengan Sang Kholik di sepertiga malam, dalam heningnya para makhluk Allah yang masih dibuai mimpi.
Kekhusyuan Sholat Tahajud yang biasa dilakukan tiap malam begitu merasuki jiwanya, membuat sholat malam begitu nikmat. Setiap gerakan dihayatinya, dari mulai takbir hingga salam. Membuat ia merasa begitu kecil di hadapan Rabbil Izzati yang menguasai segalanya.
“Robbi, hamba sadar bahwa hamba bukanlah apa-apa di hadapan-Mu. Hamba adalah makhluk yang lemah, yang tiada daya dan upaya kecuali atas kehendak-Mu. Begitu banyak dosa yang diperbuat, dan jika saat ini Kau panggil untuk menghadap, tak sanggup rasanya hamba mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia ini. Hamba lemah ya Rabb… hamba lemah…”

Tidak ada komentar: